Kebangkitan Industri Pertahanan Indonesia (Bagian I)


Kantor Pusat PT Dahana, pusat riset dan pengembangan teknologi

By Marko Rankovic

Sektor industri pertahanan bangkit kembali setelah sejarah mengajarkan Indonesia bahwa kemandirian di bidang pertahanan merupakan jalan yang paling tepat untuk menjamin militer Indonesia senantiasa diperkuat oleh alutsista yang baik, selain juga akan ikut menyumbang pada pertumbuhan ekonomi dengan berkembangnya industri dalam negeri.

Sejak proklamasi kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, membangun dan mempertahankan angkatan bersenjata yang efektif bagi bangsa dan negara merupakan prioritas utama pada setiap pemerintahan RI. Angkatan bersenjata Indonesia yang bernama TNI, dilahirkan dari revolusi rakyat yang bergabung dalam perjuangan anti-kolonial yang berakhir pada 1949.

Setelah periode ini, TNI melalui berbagai transformasi yang merubahnya dari sebuah organisasi yang terdiri dari berbagai kelompok masyarakat bersenjata menjadi sebuah angkatan bersenjata yang profesional. Dengan perubahan itu, muncullah kebutuhan impor berupa kendaraan militer, sistem dan teknologi persenjataan yang pada saat itu belum mampu dibuat di dalam negeri. Ditambah lagi dengan pembentukan angkatan udara (TNI-AU) dan angkatan laut (TNI-AL) yang sangat memerlukan pesawat terbang dan kapal perang dari luar negeri.

Namun demikian, ketergantungan pada alat persenjataan militer buatan negara lain telah membuat Indonesia dua kali mengalami kekurangan pasokan spare parts untuk militer selama kurun waktu 50 tahun. Ini menjadika beberapa bagian dalam militer tidak dapat beroperasi sehingga mengurangi kemampuan TNI untuk melakukan tugas pokoknya dalam menjalankan fungsi pertahanan negara.

Situasi seperti itu pertama kali terjadi pada pertengahan 1960-an, ketika Uni Sovyet menghentikan pasokan spare parts yang dibutuhkan oleh pesawat-pesawat mauapun kapal-kapal perang buatan Rusia yang dimilikii Indonesia. tanpa spare parts tersebut, angkatan udara tidak mampu memelihara pesawat-pesawat untuk tetap beroperasi. Persoalan yang sama juga menimpa angkatan laut, sehingga tidak mampu untuk mengerahkan pasukannya karena kapal-kapal perang mereka rusak. Situasi yang sama berulang pada era 1990-an ketika embargo militer Amerika Serikat yang menolak menjual spare parts militer menyebabkan pesawat-pesawat Indonesia terpaksa harus di "ground" tidak dapat rebang.

Perubahan Drastis

Berangkat dari pelajaran tersebut, pemerintah Indonesia telah berupaya untuk membangun industri lokal yang bisa menjaga ketersediaan kebutuhan operasional TNI. Dengan membangun peralatan dan kendaraan militer canggih buatan lokal, Indonesia diharapkan mampu mengurangi dampak jika terjadi sanksi luar negeri. Sebelum menjadi presiden, B.J. Habibie adalah seorang tokoh kunci yang memimpin pembangunan industri strategis yaitu saat menjadi Menristek yang dijabatnya cukup lama. Latar belakangnya sendiri adalah seorang insinyur dari perusahaan penerbangan Jerman, sehingga sesuai untuk menduduki jabatan itu.

Walaupun demikian, upaya yang dilakukan B.J. Habibie di masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Suharto dengan didirikannya BUMN strategis pertahanan mengalami kehancuran akibat terjadinya Krisis Keuangan Asia tahun 1998. Demi untuk memenuhi prasyarat bantuan yang diajukan International Monetary Fund (IMF), anggaran pertahanan harus dipotong, dan BUMN pertahanan dikerdilkan. Situasi ini menyulut larinya para ahli di sektor itu ke luar negeri sehingga mempengaruhi sektor industri ini selama bertahun-tahun kemudian.

Kelanjutan dari transisi Indonesia ke sistem demokrasi setelah terjadinya krisis adalah adanya fokus utama kepada sektor-sektor di luar pertahanan, karena pemerintahan-pemrintahan berikutnya berupaya untuk membangun sistem baru dan fokus pada persoalan-persoalan sosial dan ekonomi. Baru pada masa pemerintahan kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mulai tahun 2010 dan seterusnya, fokus strategis dimulai untuk menghidupkan lagi sektor industri pertahanan Indonesia.

Sebagai seorang perwira karir dan mantan Jenderal TNI, Presiden Yudhoyono telah lama memahami rentannya kekuatan strategis negara akibat ketergantungannya pada alutsista impor. Tidak diragukan lagi, inilah yang mempengaruhi keputusannya untuk memperbaiki sektor pertahanan ini. Kebijakan ini menjadi ujung tombak bagi Dr. Purnomo Yusgiantoro, Menteri Pertahanan saat itu, seorang profesor ekonomi yang pernah menjadi Menteri Energi dan Sekjen OPEC.

Tujuan inti dari upaya ini adalah untuk mencapai kekuatan militer minimum yang dibutuhkan (minimum essential force, MEF), pada tahun 2024. Ini artinya Indonesia akan bisa memenuhi kebutuhannya sendiri berupa peralatan, teknologi dan produk lainnya yang diperlukan untuk memmenuhi keperluan militernya. Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP), yang terdiri dari berbagai pemangku kepentingan (stake holders) termasuk kementerian, lembaga negara, perusahaan pertahanan dan perguruan tinggi, bekerja untuk mewujudkan melalui pendekatan lintas sektoral dan multi kelembagaan.

Puncaknya untuk mendukung realisasi kebijakan minimum essential force maka pengalokasian anggaran pertahan ditambah secara signifikan selain juga penyusunan Undang-undang untuk meningkatkan kemampuan TNI serta kapasitas perusahaan pertahanan Indonesia. Sebagai hasilnya, beberapa tahun belakangan ini terlihat munculnya berbagai perkembangan baru yang menggembirakan di sektor industri pertahanan ini.

The Magnificent Seven

Yang tampak jelas dari berbagai perkembangan ini adalah tujuh proyek strategis yang dipilih untuk meningkatkan kapabilitas militer Indonesia (TNI) secara signifikan disamping juga memicu alih teknologi serta membangun kemampuan R&D dan manufaktur Indonesia. Proyek-proyek ini dikerjakan secara bersama-sama dengan perusahaan-perusahaan besar internasional untuk menjamin dihasilkannya peralatan berkelas dunia. Praktek seperti ini juga berguna untuk meningkatkan alih keterampilan, pengetahuan, serta praktek yang diperlukan oleh perusahaan dan para insinyur Indonesia untuk memenuhi standar internasional.

Yang pertama dan paling penting dalam proyek strategis adalah KF-X/ IF-X Fighter Jet Project. Ini merupakan joint venture antara Indonesia dengan Korea Selatan, bekerja sama mengembangkan pesawat tempur next generation untuk digunakan sebagai pertahanan nasional kedua negara. Sebagaimana yang dikatakan Dr. Timbul Siahaan, Dirjen Potensi Pertahanan, Kementerian Pertahanan RI, "Ini adalah pesawat jet tempur generasi 4.5 yang sejajar dengan F-16++. Ini merupakan proyek tiga fase yang mencakup : pengembangan teknologi, rekayasa dan pengembangan manufaktur, dan akhirnya, produksi". 

Indonesian Aerospace (PT Dirgantara Indonesia, PT DI) merupakan lead integrator yang bertugas mengerjakan proyek ini dari pihak Indonesia. Langkah menuju jet tempur canggih dari basis produksi tradisional pesawat sayap tetap maupun helikopter memerlukan investasi  yang besar dalam  infrastruktur fisik maupun sumber daya manusia. Lompatan teknologi yang jauh ke depan seperti itu, meskipun sangat menantang, nantinya akan membawa ke standar yang lebih tinggi bagi produksi penerbangan regional.

(Bersambung ke Bagian II)

Sumber: The World Folio

Referensi Tambahan

1.   UU Industri Pertahanan (Inhan) wajibkan alutsista produksi dalam negeri
UU Inhan wajibkan alutsista produksi dalam negeri
Seorang anak menaiki wahana tempur pada pameran Alutsista (alat utama sistem senjata) di Lingkar Monas, Jakarta Pusat, Sabtu (6/10). (ANTARA/Anis Efizudin)
Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi I DPR RI, Muhammad Najib mengatakan, UU Industri Pertahanan (Inhan) bisa mengikat pejabat kita baik pada Kementerian Pertahanan maupun TNI, agar menggunakan alat utama sistem persenjataan (alutsista) produksi dalam negeri.

"Kalau terpaksa beli di luar negeri, maka harus diikuti dengan berbagai persyaratan, seperti transfer teknologi, atau dalam jangka panjang ada join production sehingga ketergantungan kita akan alutsista luar negeri bisa berkurang," kata Najib di Jakarta, Jumat.

Dia meneruskan, "di saat bersamaan akan tumbuh industri pertahanan dalam negeri yang bisa memasok alutsista."

Dia menyebut UU Inhan akan dijalankan oleh siapapun yang memerintah negeri ini.

"Kalau dibingkai UU, kan jangka panjang, siapapun nantinya yang berkuasa, dia tetap dikawal oleh UU ini," kata Najib.

UU Inhan memberi kepastian bagi industri dalam negeri karena baik dalam jangka pendek, menengah, mapun panjang sehingga percaya diri memproduksi dan mengembangkan alutsista.

"Kalau pemerintah tidak melaksanakan bisa kena sanksi, pejabatnya bisa kena hukuman. Sehingga daya paksanya sangat kuat. Sanksi bukan dalam pengertian hukuman yang harus ditanggung, karena soal hukuman diatur UU lain. Tapi sanksi yang semangatnya mengikat pemerintah," sebut Najib.

Pada UU Inhan terdapat pasal yang memberi sanksi bagi TNI yang membeli alutsista dari luar negeri padahal tersedia di dalam negeri.  Najib menyatakan, saat ini yang lebih dikedepankan adalah bagaimana mendorong industri pertahanan dalam negeri maju.

"Sebaiknya kita tidak berbicara punishment, tapi bagaimana kita mendorong idealisme bangsa, dan kepentingan negara menjadi prioritas. Kita tidak ingin berbagai pejabat melakukan itu," kata dia.

UU Inhan juga akan menghindari maraknya makelar alutsista yang sering menciptakan masalah seperti korupsi. "Dengan adanya UU ini kita lebih memprioritaskan hubungan antarnegara, hubungan G to G, yang bisa saling menguntungkan bagi kedua negara, dan meminimalisasi peran broker.

UU ini juga lebih membuka pengusaha untuk terjun dalam bisnis alutsista demi mendapatkan keuntungan jangka panjang, seperti investasi membangun industri pertahanan dan memproduksi alutsista yang diperlukan.

(zul)

Sumber: Antara

2. Bikin Jet Tempur, PTDI Kirim 300 Insinyur ke Korea Selatan

Feby Dwi Sutianto - detikfinance
Kamis, 07/01/2016 16:02 WIB
Bikin Jet Tempur, PTDI Kirim 300 Insinyur ke Korea Selatan
Jakarta -PT Dirgantara Indonesia (PTDI) akan mengirim bertahap sekitar 300 insinyur pesawat ke fasilitas milik Korea Aerospace Industries (KAI), Korea Selatan (Korsel). Para insinyur PTDI akan terlibat dalam proses pengembangan hingga melahirkan prototype jet tempur generasi 4.5 bernama Korea Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment (KFX/IFX).

Insinyur berusia tua dan muda dari PTDI akan dikirim secara bergantian sampai 2019.

"Kita akan kirim 200-300 orang ke Korea untuk program ini," kata Direktur Utama PTDI, Budi Santoso usai acara penandatanganan pengembangan KFX/IFX di Kementerian Pertahanan, Jakarta, Kamis (7/1/2016).

Menurut Budi, proses pengembangan pesawat tempur itu sebetulnya akan dilakukan di Indonesia dan Korsel, namur akhirnya diputuskan di Korsel karena beberapa pertimbangan.

"Dari engineering sampai pekerjaan perencanaan awalnya akan dilakukan di Korsel dan Bandung. Tapi akhirnya, kita dikirim orang ke Korea. Kalau tempat terpisah nanti problem komunikasi. Apalagi, waktunya pendek yakni hanya 3 tahun (lahirkan prototype)," tambahnya.

Selain terlibat dalam proses perencanaan hingga pengujian, para insnyur akan berperan dalam aktivitas transfer of technology. Korsel sendiri telah memiliki penguasaan teknologi jet tempur.

"Insinyur kita dikasih kesempatan di semua hal. Kita ikut merancang, hingga menganalisa. Karena terlibat maka kita menguasai teknologi kalau nggak terlibat, kita nggak bisa. Yang penting itu, penguasaan teknologi," ujar Direktur Teknologi dan Pengembangan PTDI, Andi Alisjahbana.

(feb/hns)

Sumber: Detik

KEMBALI KE HALAMAN UTAMA 



Kunjungi TOKO FARSA di TOKOPEDIA

Kunjungi TOKO FARSA di BUKALAPAK
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar